Chapter 2
Chapter 2
BAB 2 I Perayaan Satu Tahun
Hari itu Via pulang lebih cepat dari biasa, karena Sean yang meminta. Khawatir melihat wajahnya yang pucat usai rapat berakhir. Via juga merasa tidak sehat sehingga dia menerima. Sesampainya di apartemen, Via berniat untuk masak, tetapi takut Sean memarahi karena bukannya berbaring malah sibuk membuat makan malam sendiri.
Bunyi dering ponsel pertanda pesan baru yang masuk membuat Via mengurungkan diri. Dia tahu pasti Sean yang mengirim. Pria itu bagai cenayang, tahu bagaimana kepala Via bekerja.
Jangan memasak apa-apa. Istirahat saja, akan kubawa makan malam dari luar. Content rights belong to NôvelDrama.Org.
-SR-
Sudut bibir Via mengukir senyum bahagia, mendapat perhatian Sean Reviano bagai dapat merengkuh bulan. Bahagianya bukan kepalang.
Setelah bersiap ritual skin care malam, Via memutuskan untuk tidur lebih dulu. Lama mata Via terpejam saat dia merasa sentuhan hangat dari kecupan bibir Sean di bahu, membuatnya membuka mata sembari mengulum senyum.
“Maaf membuatmu terjaga, tetapi ada baiknya kau makan lebih dulu sebelum lanjut tidur,” bisik Sean dengan menarik Via beranjak dari kasur.
Keduanya duduk di dapur, menikmati makan malam yang Sean beli tadi.
“Kau menginap malam ini?” tanya Via penuh harap, sedikit malu-malu.
Sean mengangguk, tak bersuara karena mulut penuh.
“Aku sangat khawatir, kau tampak pucat pasi. Apakah sudah baikan?”
Jemari Sean menggeser piring di meja. Dia berdiri lalu menghampiri Via yang enggan mengunyah. Makan malamnya juga tidak dilirik, hanya diputar-putar dengan sendok tanpa niat menghabisi.
Duduk keduanya yang tadi saling menghadap kini berubah posisi bersebelahan.
Sean mengambil alih sendok di tangan Via, lalu menyuapkan nasi serta lauk ke depan bibir ranumnya.
“Aaaa …,” gumam Sean hingga Via tertawa.
“Aku bisa makan sendiri,” ucap Via hendak mengambil alih situasi.
Sean mengelak, dan menolak Via yang protes. “Tidak, jika kubiarkan, kau hanya memainkan piring dan sendok. Bisa berjam-jam kita di sini.”
Wajah Via merona, mendapat tatapan hangat yang diberi oleh Sean. Pria itu sungguh perhatian. Dengan menekan malu, Via menerima suapan pertama, kedua, ketiga … hingga kosong tak bersisa.
“Tidurlah, aku akan menyusul setelah menyelesaikan sesuatu,” katanya sembari bangkit dari kursi, membersihkan sisa makan mereka, dan membereskan piring kotor di meja.
Via ikut beranjak dari sana. Melihat punggung Sean yang menghadap padanya, membuat kerongkongan Via terasa tercekat. Menelan rasa malu, Via mendekat dan melingkarkan kedua lengan pada pinggang Sean yang saat ini sedang membilas gelas, sedang kepala Via menyandar pada punggungnya yang bidang. Sesaat, Sean menghentikan aktivitas, tetapi melanjutkan kembali ketika keduanya memilih hanyut dalam diam. Suasana sekitar berubah syahdu, tatkala Sean bersenandung dengan suara rendah yang merdu.
Hidung Via menghirup aroma Sean dalam-dalam hingga mengisi paru-paru, sedang telinga merekam getar suara dan detak jantung Sean yang berirama. Hati Via berbisik sendu, mungkin ini waktu-waktu
terakhir mereka bisa nikmati bersama. Sedikit apa pun, akan dia habiskan baik-baik.
……………………………………………………………
Pagi itu Via mendapati sebuket bunga di atas meja kerja. Beberapa rekan wanita berkumpul mengelilingi meja yang dia tempati satu tahun terakhir. Mereka ber oh-ah bersama, membayangkan dimulainya romantisme kantor di Luna Star. Segudang pertanyaan dilemparkan, yang Via jawab dengan senyuman.
“Ya ampun, aku tidak tahu jika kau punya pacar,” ucap Cece sembari memfoto buket di pelukan Via. “Buketnya besar sekali, pasti tidak murah.”
Hati Via membuncah bahagia. Kali pertama dia mendapat buket, dan dari inisial si pemberi, Sean Reviano adalah pelaku utama. Tidak hanya itu, sekotak sarapan juga duduk manis di meja, beserta sekardus kecil cemilan di sebelah.
Takut menjadi bahan gossip, Via membagikan makanan itu pada rekan kerja di sana.
“Ayo beri tahu siapa pacarmu Via, apakah dia karyawan di sini?”
“Tidak, dia bukan siapa-siapa. Kalian juga tidak akan kenal,” jawab Via menutupi rahasia.
Andai hubungannya dan Sean terbuka publik, mungkin dia tidak akan bersilat lidah. Sungguh berat tidak mengakui Sean sebagai kekasih perhatian.
Kejadian pagi itu ternyata belum selesai, siangnya Via mendapat kiriman makanan dari luar. Dengan pandangan bertanya dia mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Sean. Tidak biasanya, ada dua kejutan dalam satu hari. Di kantor pula. Sungguh, bukan seperti Sean yang biasa.
Via: Ada apa dengan kejutan buket dan makanan hari ini?
Tanya Via sembari pura-pura mengerjakan dokumen di komputer. Tidak lama kemudian, dia mendapat balasan.
Sean: Untuk merayakan satu tahun kita bersama, kau lupa?
Detak jantung Via berdebar-debar. Rona merah menjelar dari pipi hingga ke telinga.
Bagaimana bisa dia lupa hari penting seperti ini, bahkan tidak mengira Sean yang mengingat lebih dulu.
Via: Maaf, aku benar-benar lupa. Aku tidak menyiapkan kado, kau mau apa?
Sean: Tidak perlu. Kehadiranmu cukup.
Rasanya Via ingin melompat-lompat girang mendapat pesan Sean yang tanpa malu menggoda. Biasanya dia membalas tanpa memedulikan rayuan atau kata sejenis. Sungguh tidak seperti Sean yang biasa, membuat Via benar-benar bertanya.
“Via,” panggil Keiza yang datang dari arah luar.
“Ya?” jawab Via sembari menyembunyikan ponsel ke dalam saku celana.
“Anak-anak mengajak kita bergabung ke bar, kau mau ikut?”
Beberapa saat Via menimbang-nimbang, tetapi dia tidak ada janji dengan Sean hari ini. Biasanya Sean akan menghubungi bila mereka hendak bertemu di luar. Tetap saja, Via harus bertanya pada Sean dulu.
“Ehm … aku pikirkan dahulu, nanti aku kabari lagi,” jawab Via tidak langsung memastikan.
Keiza mengangguk dan keluar dari sana. Melihat rekan kerjanya menghilang dari pandangan, Via pun membalas pesan Sean sekaligus bertanya.
Via: Ucapanmu membuatku bahagia, terima kasih. Bila ada yang kau mau, katakan saja.
Sejenak Via menjeda ketikan di layar, menyusun kata untuk menanyakan adakah acara berdua.
Via: Oh iya, rekan kerja yang lain mengundangku ke bar. Apa kita ada rencana malam ini? Hanya memastikan apakah menolak atau menerima.
Tidak lama, dia mendapat balasan.
Sean: Pergilah, aku juga ada rapat dengan klien.
Entah mengapa Via merasa ada rasa kecewa, tetapi dia tahu tidak boleh serakah. Baru saja mendapat buket bunga dan kiriman makan siang, tidak seharusnya dia menuntut perhatian Sean juga. Pria itu memiliki kehidupan berbeda, ada perusahan yang bergantung pada bahunya.
………………………………………………………………..
Bar yang mereka kunjungi sangatlah ramai, membuat Via sedikit tidak nyaman. Dia hendak menghubungi Sean entah sudah ke berapa kali, tetapi jemarinya menggantung di udara tatkala menatap layar ponsel yang gelap.
“Sudah, pacarmu itu tidak akan marah. Lagi pula kita semua di sini kan hanya wanita,” goda Altha mendapati Via yang gelisah.
“Benar, pacarku juga tidak keberatan selama jalan dengan kita-kita,” tambah Cece yang asyik bermain dengan ponsel di tangan.
Melihat rekan yang lain gerah dengan gesture gelisahnya, Via memutuskan untuk lupa dan menikmati saja waktu yang ada. Bahkan, Sean tidak lagi mengirim pesan atau menghubungi, jadi rasanya tidak berdosa jika dia ambil bagian bersenang-senang.
Baru saja mereka semua pergi ke lantai dansa, saat Via merasakan tatapan panas berasal dari meja bar. Dia memutar kepala delapan puluh derajat, dan matanya bertabrak pandang dengan manik mata
yang menggetarkan jiwa. Ada senyum samar di balik wajah rupawan Sean dari balik gelas di bibir sensualnya.
Tanpa kendali, Via membalas. Beberapa lama keduanya mengunci mata. Seolah hanya mereka saja di sana. Hiruk-pikuk sekitar musnah seketika, menyisakan suasana syahdu yang dibagi berdua.
Next Chapter