Bad 42
Bad 42
Bab 42
“Topik pertemuan hari ini adalah bahwa setiap orang harus menyerahkan laporan riset pasar dan karya desain secara rutin pada akhir bulan ini. Tasya dan Alisa harus bersiap-siap untuk berpartisipasi dalam kompetisi perhiasan di akhir bulan,” Felly mengumumkan.
“Felly, bukankah ada aturan di perusahaan bahwa orang luar tidak diijinkan keluar masuk kantor ini sesuka hati? Mengapa anggota keluarga, teman, dan pacar Tasya bisa masuk? Ini melanggar peraturan!” Alisa langsung angkat bicara.
Felly juga agak canggung dalam hal ini. Dia menatap Tasya dan berkata, “Tasya, beri tahu pacarmu untuk tidak sering datang ke kantor. Dengan mengirimkan bunga ke kantor, itu akan mempengaruhi karyawan lain di kantor ini.”
Wajah Tasya seketika panas saat mendengarnya. Apakah semua orang menganggap Nando sebagai pacarku?
Kemudian, dia juga merasakan tatapan yang dalam dan menyelidik padanya.
“Itu benar! Melihat ada seikat mawar membuatku cemburu! Tasya, pacarmu sangat tampan. Berani sekali kamu bawa dia ke kantor? Apa kamu tidak takut dicuri orang?” gurau desainer wanita lainnya.
“Baiklah, aku akan berbicara dengannya.” Tasya hanya mengakui begitu saja bahwa Nando adalah pacarnya karena akan menjadi masalah jika menjelaskan sebaliknya.
Pada saat itu, tatapan Elan sangat tidak bisa diartikan, begitu rumit, apalagi ketika dia mengingat Nando dan Tasya saling berpelukan di bandara, dan dia juga ingat bahwa wanita itu juga tidak menolak rayuan Nando. Sekarang, dia bahkan secara terbuka berani mengakui bahwa Nando adalah pacarnya.
Setelah pertemuan rutin yang membosankan itu selesai, Elan berkata dengan wajah cemberut, “Yang lain boleh kembali, tapi Tasya tetap di sini dulu.”
Semua orang di ruangan itu merasakan kemasaman raut muka bos mereka, maka mereka segera bangkit dan keluar dari ruang rapat karena takut terkena imbas kemarahannya.
Tasya juga tidak bisa berkata-kata. Kenapa mukanya masam seperti itu?
Ketika pintu ruang rapat ditutup, Elan kembali ke kursinya, dan dengan wajah menakutkan dia melotot tajam ke arah Tasya. Menatap Tasya dengan mata dingin, dia berkata, “Kamu seharusnya menyadari hubunganku dengan Nando.”
Dia mengangguk. “Ya saya sadar. Ada apa ini, Pak?”
Elan semakin marah dibuatnya. “Apa kamu ingat kalau berhutang sesuatu padaku?” Dia mengunci mata Tasya dengan menatapnya dalam-dalam, memancarkan aura membahayakan bagi Tasya tanpa bisa dijelaskan.
Tasya berpikir sejenak, tapi tidak bisa mengingat dia berhutang apa pada Elan sebenarnya, maka dia bertanya, “Apakah saya berhutang sesuatu pada Anda? Content is property © NôvelDrama.Org.
“Kamu sudah lupa?” Dia tiba-tiba menjadi marah karena wanita itu benar-benar lupa.
“Tolong beri saya petunjuk.” Bagaimana aku punya waktu untuk mengingat hal-hal yang tidak penting?
Pria itu berdiri tiba-tiba, lalu mencengkeram pergelangan tangan Tasya dengan lengan panjangnya. Mendorong pinggang Tasya ke meja, kemudian menekan dengan tubuhnya yang tiba-tiba menjadi liar. Ketika Tasya dalam posisi bersandar, tangan pria itu memegang bagian belakang kepalanya. Dia mencekal dagu Tasya dan mengangkatnya dengan dingin, lalu mendaratkan bibirnya di atas bibir Tasya dengan luapan kemarahan.
Tiba-tiba dia menghujani bibir lembut wanita itu dengan ciuman tanpa persetujuan sebelumnya. Ciuman yang mendominasi, kasar, dan agresif seolah-olah itu semacam hukuman.
Mata indah Tasya terbelalak karena terkejut, dia tidak percaya bahwa pria ini akan melakukan hal tersebut padanya di tempat umum.
Napas Elan memburu, membuat pikiran Tasya menjadi kosong. Tasya sangat kesal, lalu dia mendorong Elan dengan segenap tenaganya dan berteriak, “Elan, apa yang kamu lakukan?”
“Bukankah kamu memintaku untuk mengingatkanmu? Inilah hutangmu padaku.” Suara pria itu serak, sementara matanya gelap, dan kata-katanya penuh cibiran.
Sambil mengambil napas dalam-dalam, Tasya kemudian mengangkat tangannya dan menyeka bibirnya dengan jijik. Mengingat bahwa Helen sedang menjalin hubungan dengan pria ini, dan bahwa dia telah menyentuh Helen sebelum menciumnya, dia merasa sangat jijik.
“Jangan cium aku!” Tasya berteriak dengan marah. “Jika kamu melakukan ini lagi, aku akan menuntutmu.”
Elan menatap mata Tasya, bagai mawar yang menyala-nyala. Bibirnya sangat lembut, yang membuat Elan tidak bisa melepaskan diri darinya. Itu bahkan mengingatkannya pada sentuhan malam itu lima tahun yang lalu. Faktanya, memang ada perasaan halus yang membuatnya luluh. Mengapa wanita ini membuatku merasa seperti ini? Aneh!