Menantu Pahlawan Negara

Bab 247



Bab 247 Aku Takut Kamu Tidak Sanggup Menerimanya

Tidak peduli Ardika bisa membunuh Alden atau tidak, Tarno sudah bisa

membayangkan Ardika pasti akan berakhir mengenaskan.

Bukan hanya nyawa idiot itu, nyawa istrinya sekeluarga, bahkan nyawa seluruh

anggota Keluarga Basagita akan melayang!

“Bawa dia masuk.”

Rohan mengambil alat pengontrol dan mematikan layar itu.

Tarno berbalik dan keluar. Sesaat kemudian, dia membawa Ardika memasuki

ruangan.

“Ardika, cepat panggil Tuan Tohan. Tuan Rohan adalah generasi tua terhormat

dunia preman Kota Banyuli!”

Saat ini, Tarno tidak memanggil Ardika dengan nada akrab lagi.

Di matanya, tidak lama lagi Ardika pasti akan mati.

Tuan Rohan.”

Sambil tersenyum dan memanggil dengan santai, Ardika mengamati Rohan sejenak.

Kemudian, dia bersiap untuk duduk di sofa seberang pria itu.

“Dasar lancang! Saat berhadapan dengan Tuan Rohan, kamu nggak boleh duduk!”

Tepat pada saat ini, tiba–tiba terdengar teriakan dingin dari salah satu pengawal

yang berdiri di sisi Rohan.

Ardika menatap Rohan yang tanpa ekspresi itu dan berkata, “Tuan Rohan, bukankah

kamu mengundangku ke sini untuk berdiskusi? Kenapa aku bahkan nggak

diizinkan untuk duduk? Sepertinya nggak ada peraturan seperti ini, ‘kan?”

“Huh, idiot sepertimu terlalu memandang tinggi dirimu sendiri. Tuan Rohan

menyuruhmu ke sini, bukan mengundangmu ke sini. Kamu nggak berhak diundang

oleh Tuan Rohan!”

Setelah mendengus marah, pengawal itu melangkahkan kakinya dari sisi Rohan

menuju ke hadapan Ardika dengan aura yang menakutkan.

Rohan hanya duduk tenang di sana sambil menundukkan kepalanya dan menyesap

tehnya.

Dia seolah–olah tidak melihat dan mendengar apa yang sedang terjadi.

Dia ingin pengawalnya mengintimidasi bocah itu terlebih dahulu, baru membicarakan hal penting yang ingin dibicarakannya.

“Dasar bocah nggak tahu diri! Sekarang aku akan memberimu pelajaran agar kamu

tahu diri!”

Pengawal itu mengulurkan lengan berototnya, menjulurkan jari–jarinya dan hendak

menarik bahu Ardika.

Begitu dia menggerakkan tangannya, udara di sekeliling ruangan itu seolah terbelah.

Jari–jarinya tampak sangat kuat, mampu menghancurkan tulang bahu Ardika!

Menghadapi pengawal dengan aura yang kuat itu, Ardika tetap terlihat tenang.

Tepat pada saat kelima jari pengawal itu hendak mendarat di bahu Ardika, Ardika langsung menghilang dari hadapannya!

Pengawal itu langsung tercengang. ‘Sialan! Kecepatan macam apa ini?”

Tiba–tiba, pengawalnya lainnya berseru dengan suara keras, “Hati–hati….”

Saking terkejutnya, secara naluriah pengawal itu hendak menghindar.

Namun, semuanya sudah terlambat.

“Bam!”

Tiba–tiba, Ardika muncul di sisi kiri pengawal itu, lalu menendangnya hingga terpental menghantam dinding.

Pengawal itu mengerang kesakitan, lalu merosot dari dinding dan terjatuh lemas ke

lantai.

Tidak tahu berapa tulangnya yang sudah patah.

Untuk sesaat, dia tidak bisa berdiri lagi.

Melihat pemandangan itu, pengawal lainnya menelan air liurnya dengan susah payah. Tiba–tiba, dia mendongak dan menatap Ardika dengan tatapan terkejut. sekaligus marah. “Kenapa kamu bertindak sekasar itu?!”

“Dasar lancang!”

Tiba–tiba, Rohan meletakkan gelas tehnya ke atas meja dengan keras, lalu berkata

dengan dingin, “Dia sendiri yang menyerang Ardika terlebih dahulu. Karena kekuatannya sendiri lebih lemah dibandingkan Ardika, dia dilumpuhkan oleh

lawannya. Bagaimana kamu bisa menyalahkan Ardika?!”

“Maaf, Tuan Rohan.”

Sekujur tubuh pengawal itu gemetaran. Dia buru–buru menundukkan kepalanya dan

meminta maaf.

“Bawa pecundang itu keluar.”

Rohan melambaikan tangannya. Kemudian, dia tersenyum pada Ardika dan berkata, “Ardika, maaf, anak buahku nggak tahu aturan. Ayo, silakan duduk.”

Ardika tidak segera mencari perhitungan kepada pria tua di hadapannya ini. Dia menyunggingkan seulas senyum dan duduk di atas sofa dengan santai.

“Tuan Rohan, ada urusan apa kamu mencariku? Katakan saja langsung.”

Ardika menyilangkan kakinya dan menatap Rohan tanpa ekspresi.

Ekspresi Rohan berubah menjadi muram sejenak, lalu berubah kembali.

Dia tersenyum dan berkata, “Ardika, ternyata kamu adalah orang yang nggak suka

berbasa–basi. Kalau begitu, aku langsung ke intinya saja. Aku ingin memintamu NôvelDrama.Org owns © this.

menjadi anak buahku.”

“Apa? Kamu memintaku untuk menjadi anak buahmu

Ardika menatap Rohan dengan tatapan aneh.

Bahkan dia sendiri juga tidak menyangka pria tua itu mencarinya karena hal ini.

Sungguh mengejutkan!

Rohan menganggukkan kepalanya dan berkata, “Aku sudah melihat adegan saat kamu melumpuhkan Seto kemarin. Aku sangat mengagumi keterampilan seni bela dirimu. Aku merasa sangat disayangkan kalau kekuatanmu disia–siakan begitu saja. Karena itulah, aku mencarimu untuk mendiskusikan hal ini.”

Melihat Ardika masih diam saja, dia melambaikan tangannya dan berkata, “Ah, apa

kamu memikirkan tentang keuntungan? Jangan khawatir, selama kamu menjadi

anak buahku, pasti ada keuntungannya!”

Ardika menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tuan Rohan, bukan seperti itu

maksudku.”

Rohan menatapnya dengan bingung dan bertanya, “Kalau begitu, apa

u, apa maksudmu?”

Ardika menyandarkan tubuhnya ke belakang, lalu menatap lawan bicaranya seolah

tersenyum dan berkata, “Tuan Rohan, aku takut kamu nggak sanggup menerimaku

sebagai anak buahmu.”


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.