Bab 49
Bab 49
Bab 49
Baru selesai perkataannya. Samana Sudah menarik tangan kecilnya dari genggaman Isla
“Tidak usah merepotkan Tuan Asta.” Samara mengambil kain kasa lalu menekan dengan kuat kuat pada lukanya, dengan pelan berkata: “Walaupun saya bukan dokter, tetapi saya mengenal pengobatan, jelas dengan kondisi luka saya sendiri.”
Merasakan Samara sedang membatasi hubungan dengan dirinya, mata tajam Ista tiba tiba terpejam.
Dia mendekatinya, Samara menghindarinya.
Dia khawatir terhadapnya, Samara tidak suka.
Apakah wanita ini begitu membencinya?
Jika bukan karena keberadaan Oliver dan Olivia, dia benar benar ingin bertanya kepadanya apa sebenarnya yang ada dalam pikirannya? Text content © NôvelDrama.Org.
kedua bocah itu tentu saja tidak mengetahui perselisihan diantara orang dewasa, mereka menganggap barusan Asta telah membuat Samara kesakitan waktu merawat lukanya.
Oliver dan Olivia mengelilingi Samara.
“Samara, kamu baik baik saja?” bicara sampai disini, dengan benci dia menatap Asta: “Maklum sudah berumur 30 tahun sudah termasuk pria tua, bicara dan tindakan ada kalanya terlalu sembrono, kamu jangan masukkan dalam hati.”
Olivia tidak dapat berbicara, tetapi sepasang mata hitamnya yang besar telah menjadi merah.
Seperti anak kelinci yang disakiti, merasa sangat simpati.
Samara merasakan kehangatan yang di tebar oleh kedua bocah itu, barusan hatinya yang galau gara gara Samantha dan Asta, perlahan lahan mulai menjadi lembut kembali.
“Oliver, Olivia, kalian tidak usah khawatir, saya tidak apa apa.”
Asta melihat Samara yang memperlakukan dirinya dengan tidak adil, tidak tahu harus bagaimana menghadapi wanita ini.
Jelas jelas dia dapat bersikap begitu lembut waktu bersama Oliver dan Olivia, tetapi mengapa justiu waktu berhadapan dengannya berubah menjadi keras kepala dan penuh duri yang tajam, selalu takut dan waspada dia akan melewati batas.
Darah, perlahan lahan telah berhasil dihentikan.
Dengan tangan terlatih Samara menaruli obat infeksi keatas lukanya, mengobati sendiri luka di
tangannya.
Tidak berapa lama setelah selesai merawat lukanya, di depan pintu utama terdengar suara wanita yang sangat merdu.
“Pak Michael, Asta ada di rumah?
“Ada, Tuan Muda Asta berada di ruang makan sedang sarapan.”
“Paman Michael, saya tidak gampang mendapat libur setengah hari, dari lokasi shooting datang kemari, belum sempal sarapan.”
“Kalau begitu tunggu sebentar dan sarapan bersama?”
“Terima kasih.”
Suara ini terdengar sangat akrab bagi Samara, akrab sampai masuk ke tulang sumsum.
Dalam 5 tahun ini asalkan dia bermimpi buruk yang berhubungan dengan kasus lautan api itu, dia akan mengingat dengan jelas kata yang diucapkan Samantha kepadanya sebelum dia menyalahkan api untuk membakar mati dirinya.
Jelas jelas mereka adalah saudara kembar, tetapi Samantha justru ingin dia lenyap dari muka bumi ini.
Benci.
Samantha membencinya.
Dan dia, kapan dia tidak membenci Samantha?
Ini adalah pertama kali dia bertemu Samantha sejak peristiwa dia berhasil lolos dari kasus kebakaran itu
Dia menggigit keras bibirnya smpai terluka dan berdaralı.
Suara lang kali semakin mendekati.
Samantha berjalan masuk ke ruang makan dengan penuh harapan, setelah sampai baru menyadari di dalam ruang makan kecuali Asta yang dirindukannya, dua orang selan kecil yang menyebabkan dia pusing tujuli keliling masih ada seorang lagi!
SIMIMME WAnila
Lagipula wanita ini duduk di samping kiri Asta.
Tetapi karena dia membelakangi, Samantha hanya bisa melihat bayangan punggung Samara, tidak melihat jelas tampangnya.
Siapakah dia?
Dia belum pernah berjumpa sebelumnya!
Dan juga mengapa dia bisa sarapan bersama Asta?
Jelas jelas dalam hati Samantha timbul alarm peringatan, tetapi di mulutnya tetap tersenyum dengan anggun: “Asta, ini adalah——
“Saya adalah Samara Wijaya.” Terdengar suara yang dingin dan tegas, seperti salju yang turun di musim semi.
Nama Samara Wijaya, sudah cukup bagaikan petir, yang tepat menyambar Samantha.
Suara ini——-
Nama ini——-
Adalah orang yang sangat dikenalnya!
Wanita yang lima tahun lalu, mati di tengah peristiwa yang dirancangnya, sudah terbakar sampai tidak bersisa.
Samantha mengetahui orang mati tidak mungkin hidup kembali, wanita ini juga tidak mungkin adalah Samara Wijaya, tetapi mendengar nama yang mirip, intonasi bicaranya yang sama, dia mulai merasa goyah.
Senyum masih tergantung di sudut bibir Samantha, tetapi tanpa sadar nafasnya pelan pelan berubah menjadi cepat.
Samara yang membelakanginya, malah menyeringai seperti mengejek.
Dengan pelan dia membalikkan badannya, sepasang mata bulat yang bersinar dengan gembira dan penuh candaan menatap kearah Samantha